Pekanbaru, PilarbangsaNews
Di tengah riuh rendah modernisasi dan derasnya arus globalisasi, budaya Melayu kembali menyapa Pekanbaru.
Melalui Festival Seni Budaya Melayu Riau 2025 kegiatan yang dibuka langsung oleh Gubernur Riau (Gubri) H. Abdul Wahid M.Si, pada Senin (02/06/25) yang bertempat di Anjungan Seni Idrus Tintin.
Gubri mengingatkan kembali pesan almarhum Datuk Tennas Effendi, budayawan besar Riau, tentang “Tunjuk Ajar Melayu”—ajaran luhur yang menegaskan bahwa kehilangan budaya adalah kehilangan arah.
“Budaya bukan untuk disimpan di lemari museum, tapi untuk dijalani. Maka dari itu, mengenakan pakaian adat dalam acara budaya bukanlah simbol semata, tapi bentuk penghormatan pada warisan leluhur,” ujar Gubri Abdul Wahid.
Lebih dari itu, Gubri menekankan bahwa pelestarian budaya tidak bisa hanya dengan kata-kata. Budaya harus hadir dalam kebijakan, dalam ruang kota, dan dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam visinya, Islam yang dijalankan di Riau akan berintegrasi indah dengan budaya lokal, memperkuat identitas dan nilai-nilai kemanusiaan,” sebut Gubri.
Pekanbaru pun menurut Gubri akan disiapkan menjadi Water front City, ikon baru yang mengangkat warisan Kerajaan Siak sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat.
Kawasan ini akan dikembangkan menjadi ruang wisata budaya, kuliner, dan sejarah, di mana siapa pun yang datang bisa merasakan atmosfer Melayu yang ramah, kaya, dan penuh makna.
“Seperti Bali yang bertahan bukan karena sumber daya alam, tetapi karena budayanya, saya ingin Melayu juga seperti itu. Masuk ke industri, menghasilkan manfaat ekonomi, dan tetap lestari,” ujar Gubri disambut tepuk tangan seluruh tamu undangan.
“Mari bersama-sama kita bangun Provinsi Riau sebagai rumah besar budaya Melayu. Tempat identitas dijaga dan diwariskan. Semoga festival ini bukan hanya perayaan, tapi napas yang terus hidup, bertumbuh, dan menyatu dengan masyarakat,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Kunni mengatakan Festival Seni Budaya Melayu Riau ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dengan dukungan fasilitasi dari anggota Komisi X DPR RI, Karmila Sari, yang membidangi pendidikan dan kebudayaan.
“Awalnya kami berdiskusi tentang pentingnya kesenian dan kebudayaan, lalu pembicaraan berkembang ke arah bagaimana memajukan kebudayaan di Riau,” ujar Kunni.
“Namun yang lebih penting dari sekadar kemajuan adalah memberikan ruang kreatif bagi para seniman, penyair, dan budayawan. Kita perlu memanfaatkan ruang-ruang publik untuk melahirkan karya dan menggali kearifan lokal,” imbuhnya.
Menurut Kunni, Festival ini bukan hanya sebuah perayaan, melainkan sebuah pernyataan bahwa warisan budaya bukanlah beban yang membelenggu masa kini, tetapi harta yang menginspirasi masa depan.
“Warisan budaya adalah kekayaan yang jika diolah dengan kreativitas akan menjadi karya seni luar biasa,” tutup Kunni.
Berbagai pertunjukan ditampilkan, mulai dari musik tradisional, orkes Melayu, hingga pop Melayu yang mengalun indah dari para seniman asal Pekanbaru, Dumai, hingga Kampar.
Perpaduan antara tradisi dan modernitas membentuk jembatan antara generasi, memperlihatkan bahwa budaya Melayu terus hidup dan relevan.
Dengan mengangkat nama Festival Seni Budaya Melayu Riau, acara ini menjadi wadah untuk merangkul identitas lokal dalam kemasan yang segar. Berangkat dari semangat “Semarak Budaya”, festival ini dirancang sebagai ajang tahunan yang mendorong pelestarian sekaligus inovasi dalam kesenian. (Mirza)










