Web Hosting
Web Hosting
Opini

HILANGNYA RASA MALU, AWAL RUNTUHNYA PERADABAN BANGSA

163
×

HILANGNYA RASA MALU, AWAL RUNTUHNYA PERADABAN BANGSA

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr. Anton Permana (Pengamat Tanhana Dharma Mangruva Institute)

 

 

Sepertinya sederhana, sesederhana namanya: ‘rasa malu’. Tetapi di dalam sosiologi hukum, rasa malu adalah ruh dari benteng “ethic” dalam sebuah peradaban. Rasa malu adalah semacam “early warning system” bagi ketahanan sosial sebuah peradaban. Dimana kekuatannya juga ada pada power of social control dalam masyarakat yang lahir dari kesadaran (awareness) pribadi dan kolektif dari masyarakat itu sendiri.

 

Karena, rasa malu itu berada di beranda etik. Rasa malu adalah pemantik distorsi antara kutub etik dan kutub perilaku. Apabila terjadi percikan distorsi antara kutub etik dengan kutub perilaku, berarti sebuah proses ketidakwajaran dalam sebuah norma (value) kehidupan sedang terjadi. Begitu juga sebaliknya, apabila tak ada lagi antara batas kutub etik dan perilaku, maka sama saja telah membuka pintu segala bentuk perilaku kejahatan dan kemaksiatan di tengah masyarakat.

 

Karena secara prinsip, kutub etik adalah samudera pembatas yang luas agar manusia “enggan” untuk melakukan kejahatan. Seperti contoh ; Seseorang yang malu apabila tidak bisa menepati janji, cenderung punya sikap tidak akan mau menipu orang lain dan menyakiti hati orang lain. Apabila seseorang malu untuk berhutang dan memberatkan orang lain, maka juga cenderung punya sikap tak akan mau mengambil hak orang lain atau mencuri.

 

Lalu bagaimana dengan kondisi bangsa kita saat ini, kalau bercermin kepada perilaku para pejabat dan pemimpinnya ? Ini yang mesti segera kita cermati bersama sebagai anak bangsa.

 

Karena degradasi dari rasa malu untuk melanggar batas kutub etik ini sudah terjadi cukup parah. Ketika di Jepang, Korea Selatan dan Eropah, apabila para pejabat dan pemimpinnya melakukan pelanggaran non etik saja, belum pidana, mereka atas nama rasa malu sudah langsung mengundurkan diri. Padahal belum melakukan perbuatan melanggar hukum. Karna bagi mereka, moral, etik dan susila justru berada di atas hukum itu sendiri. Jauh berbeda dengan prilaku pejabat kita.

 

Seharusnya apabila kita merasa menjadi sebuah bangsa yang beradab, tak perlu lagi banyak institusi penegak hukum dan ribuan aturan aturan hukum. Semakin banyak aturan dan aparat yang berwenang, semakin memperlihatkan bahwa sebenarnya bangsa dan negara kita ini justru sedang banyak masalah besar.

 

Lalu, kalau rasa malu ini menjadi standar moral dan standar etik dalam sikap dan perilaku para pejabat dan pemimpin bangsa ini, itu sudah sama dengan menyelesaikan lebih separuh dari permasalahan besar bangsa ini. Apalagi dimulai dan dicontohkan oleh para pemimpin tertingginya.

 

Bagaimana seharusnya setiap pejabat itu malu hidup bermewah- mewahan memanfaatkan fasilitas negara dan kewenangan, maka otomatis akan membuatnya menjauhi perilaku korupsi dan maling uang negara. Bagaimana apabila seorang pejabat dan pemimpin itu malu apabila pernyataannya tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan di lapangan, maka otomatis si pejabat tersebut pasti akan tidak mau berdusta apalagi melakukan tipu daya secara sengaja.

 

Artinya, kalau rasa malu ini masih menjadi standar etik dan moral utama bagi bangsa kita, maka tidak akan ada lagi yang mau korupsi, tak ada yang berani sewenang-wenang terhadap rakyat atas nama kekuasaan. Tak ada yang berani membuat aturan-aturan yang merugikan negara. Tak ada lagi yang mau berdusta, membuat pencitraan, membuat tipu daya dan melakukan rekayasa-rekayasa sosial untuk kepentingan politik pribadi serta kelompoknya.

 

Tapi kalau rasa malu ini yang sudah runtuh dan hilang? Maka jangan heran jika kejahatan dan kerusakan sistematis terjadi dimana-mana secara “berjamaah”. Seorang pejabat yang seharusnya menjadi abdi negara, justru akan menjadi perampok uang negara. Seorang aparat yang seharusnya menjadi penegak hukum, justru mereka sendiri yang menjadi bekingan penjahatnya. Apabila seorang wakil rakyat seharusnya berjuang untuk rakyat, justru merekalah yang membuat aturan aturan yang merugikan rakyat. Apabila seorang Kepala negara, Menteri, Kepala Daerah, Kepala Sekolah, Kepala Desa, tidak lagi punya rasa malu dan moral, maka justru merekalah yang akan menjadi predator – predator perusak negara atas nama kekuasaan di tangannya.

 

Miris memang nasib bangsa ini. Kalau kita lihat fakta dan kenyataan hari ini di lapangan. Bagaimana korupsi terjadi sudah hampir di seluruh lini kehidupan bernegara. Ribuan trilyun uang rakyat menguap ke tangan para penjahat-penjahat berseragam dan berkekuasaan. Tak ada lagi rasa malu di dalam diri dan pikiran mereka. Kehidupan materialistis, hedonisme dan ketamakan sudah membutakan mata dan hati mereka.

 

Tinggal harapan kepada pemerintahan baru hari ini. Meski baru akan berjalan 9 bulan, masih ada yang pesimis. Karena, ternyata masih banyak juga perilaku para pejabat dan pemimpin yang tanpa rasa malu mempertontonkan gaya hedonisme di atas fasilitas negara. Banyak yang tidak malu bahkan menikmati posisi rangkap jabatan antara jabatan struktural pemerintaham dengan jabatan di BUMN strategis. Seolah semua itu wajar ibarat bagi-bagi kue kekuasaan dan hasil rampasan perang.

 

Semua ini akan menjadi beban dan tantangan bagi Presiden Prabowo kedepan. Sebagai orang nomor satu di Indonesia yang berbudaya paternalistik, beliau diharapkan dapat memberikan keteladanan, contoh, tutwuri handayani, bagi seluruh bawahannya. Karena, pemimpin bagi bangsa yang berbudaya paternalistik ini akan menjadi contoh teladan bagi masyarakat. Kalau pemimpinnya baik, punya rasa malu yang tinggi terhadap nilai peradaban, maka boleh dipastikan masih ada harapan bangsa ini maju dan berubah kearah yang lebih baik. Karena 10 tahun pemerintahan sebelumnya sudah memporak-porandakan tatanan sosial peradaban bangsa dan negara kita. Kerusakan ada dimana-mana. Baik pejabat, aparat, bahkan tokoh dan para ulama cendikiawannya pun sudah banyak berperilaku pragmatis, opportunis, tanpa punya rasa malu lagi demi kepentingan sesaat.

Salam Indonesia Jaya!

Wallahu’alam.

Jakarta, 13 Juli 2025