Web Hosting
Web Hosting
Berita

Koperasi Merah Putih: Memprovokasi Kita Kembali Berkoperasi

56
×

Koperasi Merah Putih: Memprovokasi Kita Kembali Berkoperasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Munzir Busniah (Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas)

 

Di tengah gegap gempita wacana ekonomi nasional yang sarat istilah korporasi besar—konglomerasi, BUMN, bursa efek, emiten—kata koperasi kerap terdengar hanya sayup-sayup, seperti gema masa silam yang tak lagi relevan dengan denyut modernisasi. Selama bertahun-tahun, koperasi kita berjalan terseok-seok, terbungkus dalam paket kebijakan yang sering disatukan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seakan-akan koperasi tersebut kelasnya memang “harus kecil” dan tak perlu dibesarkan. Bahkan dalam praktiknya, koperasi lebih sering menjadi instrumen simpan pinjam pegawai negeri. Koperasi yang berhasil, sayangnya, bisa dihitung dengan jari.

 

Padahal, kita punya sejarah dan jejak struktural koperasi yang patut dikenang: Koperasi Primer, Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat KUD (Puskud), Induk KUD (Inkud), hingga sosok Drs. Mohammad Hatta yang dikenang sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Hari Koperasi Nasional pun diperingati setiap 12 Juli, menandai Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya tahun 1947.

 

Namun nostalgia saja tidak cukup. Yang kita perlukan adalah kebangkitan. Pada titik ini, Program Koperasi Merah Putih yang diusung Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi angin segar dalam gerakan ekonomi kerakyatan. Program ini bukan sekadar kebijakan, melainkan upaya menghidupkan kembali semangat berkoperasi sebagai bagian dari kebangsaan.

 

Nama “Merah Putih” sebagai label koperasi desa atau koperasi kelurahan bukanlah simbol biasa. Ia memanggil kembali nilai-nilai gotong royong, keadilan ekonomi, dan kemandirian kolektif yang merupakan nilai luhur masyarakat kita.

 

Pada 21 Juli 2025, Presiden secara resmi membentuk 80.081 koperasi tingkat desa dan kelurahan yang diresmikan secara nasional di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah—dalam nomenklatur resmi dikenal sebagai Kopdes/Kel Merah Putih—dengan mandat sebagai pusat layanan ekonomi rakyat berbasis gotong royong.

 

Jika kita lafalkan pelan-pelan dengan penuh penghayatan, koperasi bukan sekadar badan usaha, melainkan gerakan sosial-ekonomi yang berasaskan kekeluargaan dan logika solidaritas. Menurut UU No. 25 Tahun 1992, koperasi adalah “gerakan ekonomi rakyat yang berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong royong.” Artinya, koperasi tidak sekadar bergerak mencari laba, tetapi membangun nilai sosial dalam praktik ekonomi untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang tercantum pada sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

 

Program Koperasi Merah Putih dirancang untuk menjawab kegamangan kita akan model ekonomi rakyat. Tujuannya jelas:

 

1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui kepemilikan kolektif atas aset produktif.

2. Menjadikan koperasi sebagai simpul pertumbuhan ekonomi lokal, bukan sekadar gerai sembako atau koperasi simpan pinjam.

3. Menekan ketimpangan serta ketergantungan terhadap sistem ekonomi yang tak berpihak pada rakyat kecil.

 

Skema pengembangannya menyasar tiga jalur: pembentukan koperasi baru, penguatan koperasi yang sudah ada, dan revitalisasi koperasi lama yang belum optimal. Jenis usaha yang dijalankan pun bervariasi: gerai sembako dan logistik desa, klinik dan apotek desa, unit simpan pinjam berbasis syariah, pergudangan dan cold storage, hingga unit usaha lokal seperti kopi, kakao, sayuran, pupuk, peternakan, perikanan, dan ekspor hasil pertanian.

 

Pemerintah memberikan dukungan dalam tiga bentuk utama:

 

Pendanaan melalui bank Himbara (BRI, BNI, Mandiri, BSI) dengan bunga rendah 6 persen.

 

Payung hukum dan pembiayaan yang difasilitasi melalui PMK No. 49/2025.

 

Dukungan digitalisasi dan teknologi dari Kementerian Komunikasi dan Digital.

Namun, pertanyaan besar muncul: apakah program ini akan berhasil, atau sekadar menjadi proyek birokratis yang akhirnya tenggelam dalam formalitas?

 

Beberapa pengamat melontarkan keraguan sejak awal. Kritik yang mencuat antara lain bahwa program ini bersifat top-down dan belum lahir dari kesadaran kolektif warga. Tanpa partisipasi kuat dari akar rumput, koperasi rawan menjadi “nama tanpa jiwa”—hidup di atas kertas, tapi mati di lapangan.

 

Saya sepakat bahwa kegagalan bisa terjadi jika kita mengulangi kesalahan lama. Namun, ada alasan kuat untuk optimisme. Setidaknya ada empat modal sosial baru yang patut dihitung:

 

1. Pendidikan Masyarakat Meningkat – Muncul generasi sosiopreneur yang memiliki semangat kolektif dan kemandirian. Mereka bukan hanya pelaku bisnis, tapi juga pemimpin sosial.

2. Kesadaran Keadilan Ekonomi – Masyarakat tidak lagi terpukau semata oleh konglomerasi dan pertumbuhan indikator makroekonomi. Ada dorongan kuat membagi “kue ekonomi” lebih adil.

3. Infrastruktur Teknologi Merata – Digitalisasi koperasi kini menjadi kebutuhan, membuka peluang terhubung dengan ekosistem digital.

4. Contoh Sukses – Misalnya Kopdes Sidomulyo di Jember dan Koperasi Solok Radjo di Sumatera Barat yang berhasil menggerakkan ekonomi lokal.

 

Sebagai dosen dan penggiat kebijakan publik, saya percaya gerakan koperasi tidak boleh berhenti pada kebijakan negara. Peran akademisi, kampus, pemuda desa, dan tokoh lokal sangat krusial memastikan gerakan ini hidup dan berkembang. Kampus bisa menjadi pusat pendampingan, laboratorium inovasi, dan simpul pengembangan SDM koperasi.

 

Koperasi Merah Putih bukanlah instrumen ekonomi biasa. Ia adalah simpul semangat kebangsaan yang mengakar, jawaban atas pertanyaan: apakah kita masih percaya bahwa ekonomi bisa dibangun secara kolektif, adil, dan berbasis gotong royong?

 

Kini saatnya kita semua mengambil peran. Dari desa di pelosok hingga kelurahan di tengah kota, dari nelayan pesisir hingga petani gunung, koperasi bisa menjadi penggerak ekonomi lokal yang bermartabat. Koperasi bukan hanya tentang uang dan usaha, tapi tentang rasa memiliki bersama dan semangat mufakat.

 

Kita pernah punya koperasi berwajah rakyat. Kini saatnya wajah itu muncul kembali—lebih segar, tangguh, dan relevan. Koperasi Merah Putih bukan sekadar program. Ia adalah panggilan sejarah. Dan kita semua, tanpa kecuali, adalah bagian dari jawabannya.

 

*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

**) Opini ini telah terbit di Kolom Komentar Harian Singgalang, Selasa 12 Agustus 2025