Web Hosting
Web Hosting

Opini

Perlu Sinergitas Berantas Pergaulan Bebas dan LGBT di Sumatera Barat

61
×

Perlu Sinergitas Berantas Pergaulan Bebas dan LGBT di Sumatera Barat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Radit Kurniawan (Ilmu Politik Universitas Andalas)

 

 

Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat yang dikenal dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, kini tengah menghadapi tantangan sosial yang cukup serius. Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja dan munculnya komunitas LGBT kian menjadi sorotan. Berbagai data dan temuan lapangan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, memicu keprihatinan dari pemerintah, tokoh agama, hingga masyarakat luas.

 

Berdasarkan data Perhimpunan Konselor VCT dan HIV/AIDS Indonesia (PKVHI), jumlah kelompok LGBT di Sumatera Barat diperkirakan mencapai 25 ribu orang. Dari jumlah itu, sekitar 5 ribu orang berdomisili di Kota Padang. Angka tersebut dipandang cukup besar, mengingat budaya dan norma masyarakat Minangkabau yang religius dan dikenal ketat terhadap aturan sosial.

 

Fenomena ini juga berhubungan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Kota Padang mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 308 kasus HIV. Dari total tersebut, 166 kasus berasal dari luar Padang, sementara 142 kasus ditemukan di dalam kota. Laporan resmi menyebut, hubungan seksual sesama jenis laki-laki menjadi salah satu faktor dominan dalam penyebaran penyakit tersebut.

 

Kecamatan Koto Tangah tercatat sebagai wilayah dengan kasus tertinggi, mencapai 40 kasus, disusul Kecamatan Lubuk Begalung sebanyak 22 kasus. Adapun Kecamatan Lubuk Kilangan menjadi yang terendah dengan 4 kasus. Data ini menandakan bahwa masalah kesehatan akibat perilaku seksual berisiko bukan hanya isu nasional, melainkan juga nyata di tingkat kota.

 

Sementara itu, survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara nasional menunjukkan bahwa sekitar 60 persen remaja berusia 16–17 tahun pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Angka ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa remaja Indonesia, termasuk di Padang, rentan terjerumus dalam perilaku seksual berisiko yang dapat berujung pada kehamilan tidak diinginkan maupun penyebaran penyakit menular seksual.

 

Menghadapi situasi ini, Pemerintah Kota Padang dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mulai mengambil langkah-langkah strategis. Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Drs. H. Zulkifli, menegaskan pentingnya peran sekolah dalam membentengi generasi muda.

 

“Generasi muda adalah aset bangsa. Sekolah harus memperkuat pendidikan karakter, memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, serta menanamkan nilai agama dan budaya. Tanpa itu, anak-anak akan mudah terbawa arus globalisasi yang tidak sesuai dengan norma kita,” ujarnya.

 

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga tengah merancang Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan LGBT dan Penyakit Masyarakat. Perda ini nantinya diharapkan menjadi payung hukum dalam upaya memberantas perilaku yang dianggap menyimpang serta memberikan landasan kuat bagi aparat dan masyarakat untuk bertindak.

 

Kapolda Sumatera Barat bahkan ikut terjun langsung dalam sosialisasi di sekolah-sekolah dan rumah ibadah. Sosialisasi ini mengangkat isu-isu penting, mulai dari bahaya narkoba, tawuran, balap liar, hingga pergaulan bebas dan LGBT.

 

Tokoh agama di Padang turut angkat bicara. Buya H. Syafrizal, seorang ulama terkemuka, menekankan pentingnya kembali pada falsafah Minangkabau yang berpijak pada agama.

 

“Adat Minangkabau basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Maka setiap perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama harus dicegah bersama-sama. Jangan hanya mengandalkan pemerintah, keluarga dan masyarakat juga harus aktif mengawasi,” tegasnya.

 

Tokoh adat juga menyampaikan keprihatinan. Mereka menilai, globalisasi dan derasnya arus budaya populer telah mengikis norma tradisional. Hiburan modern, media sosial, hingga gaya hidup individualistis membuat sebagian remaja terjebak dalam perilaku yang tidak sejalan dengan nilai budaya Minang.

 

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Barat melihat persoalan ini dari sudut pandang perlindungan remaja. Ketua LPA Sumbar, Nurhayati, menyebut bahwa kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menjadi faktor dominan.

 

“Remaja sekarang lebih dekat dengan ponsel daripada dengan orang tua. Mereka mencari jawaban di internet, padahal informasi yang didapat sering menyesatkan. Jika tidak ada pendampingan, mereka mudah terjerumus dalam pergaulan bebas atau komunitas yang berisiko,” jelasnya.

 

Meski situasi ini memicu kekhawatiran, tidak sedikit komunitas kepemudaan di Padang yang bergerak aktif memberikan solusi. Mereka menggelar seminar, diskusi, hingga pelatihan literasi digital. Tujuannya adalah membantu remaja agar lebih bijak menggunakan teknologi serta memiliki kesadaran akan risiko perilaku seksual berisiko.

 

Selain itu, sejumlah nagari di Sumbar bahkan sudah mulai melakukan intervensi lokal. Ada nagari yang memberikan teguran kepada remaja yang kedapatan berpacaran di tempat sepi, melakukan penyuluhan rutin di sekolah, hingga melibatkan tokoh adat dalam pembinaan generasi muda.

 

Kendati berbagai upaya telah dilakukan, tantangan tetap ada. Stigma sosial membuat sebagian kelompok LGBT enggan terbuka, sehingga sulit bagi pemerintah untuk melakukan pendekatan yang tepat. Di sisi lain, pembahasan mengenai seksualitas di sekolah maupun keluarga masih dianggap tabu, sehingga remaja tidak mendapatkan informasi yang benar.

 

Namun, masyarakat berharap sinergi antara pemerintah, tokoh agama, sekolah, dan keluarga dapat menjadi solusi. Edukasi sejak dini, komunikasi yang sehat dalam keluarga, serta penyediaan ruang aktivitas positif bagi remaja dipandang sebagai langkah paling efektif untuk menekan maraknya pergaulan bebas di Kota Padang.

 

“Kita tidak bisa menutup mata terhadap fenomena ini. Yang terpenting sekarang adalah membekali generasi muda dengan iman, ilmu, dan kegiatan positif, agar mereka tidak terjerumus pada jalan yang salah,” pungkas Buya Syafrizal. (*)

 

*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis