Web Hosting
Web Hosting

Artikel

IJTIHAD DI ERA KONTEMPORER

243
×

IJTIHAD DI ERA KONTEMPORER

Sebarkan artikel ini

Oleh Deddy Irawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi

 

 

Ijtihad merupakan salah satu pilar penting dalam perkembangan hukum Islam. Secara etimologis, ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala daya dan upaya.

 

Dalam konteks hukum Islam, ijtihad didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh seorang mujtahid untuk menggali dan merumuskan hukum syariah dari sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, serta melalui metode-metode istinbath seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain sebagainya. Dalam sejarah Islam, ijtihad telah menjadi alat penting dalam menjawab berbagai persoalan yang tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam teks agama.

 

Di era klasik, para ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan contoh mujtahid besar yang mengembangkan berbagai metodologi ijtihad. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, terutama setelah abad ke-10 M. Argumen ini menyebabkan stagnasi dalam pengembangan hukum Islam dan dominasi praktik taqlid, yaitu mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa penggalian hukum baru.

 

Namun, pada masa modern dan kontemporer, banyak sarjana Muslim yang menolak pandangan tersebut dan justru menekankan pentingnya membuka kembali pintu ijtihad secara luas demi menjawab tantangan zaman.

 

Era kontemporer ditandai oleh kemajuan teknologi, globalisasi, transformasi sosial, dan kompleksitas kehidupan modern. Berbagai isu baru seperti teknologi reproduksi (seperti bayi tabung dan kloning), kecerdasan buatan, ekonomi digital, hak asasi manusia, perubahan iklim, serta interaksi antaragama dan budaya menimbulkan persoalan hukum dan etika yang belum pernah dibahas secara spesifik oleh para ulama terdahulu.

 

Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat relevan dan diperlukan sebagai alat untuk mengintegrasikan ajaran Islam dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

Dalam konteks ini, ijtihad kontemporer memerlukan pendekatan baru yang tidak hanya berbasis pada teks klasik, tetapi juga mempertimbangkan ilmu pengetahuan modern, konteks sosial, dan tujuan utama syariah (maqashid al-syariah). Salah satu bentuk pembaruan adalah ijtihad kolektif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI), dan Dewan Syariah Nasional.

 

Pendekatan kolektif ini melibatkan para ahli dari berbagai bidang, termasuk ekonomi, medis, teknologi, dan hukum, sehingga hasil ijtihad lebih holistik dan dapat diterapkan secara realistis dalam masyarakat modern.

 

Dengan demikian, ijtihad di era kontemporer tidak hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga kewajiban moral dan intelektual umat Islam. Pembaruan ijtihad memungkinkan Islam tetap kontekstual, dinamis, dan solutif terhadap persoalan kekinian, serta mencegah stagnasi pemikiran hukum Islam.

 

Ijtihad bukan sekadar metode hukum, melainkan juga cerminan dari semangat Islam yang responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, penguatan kapasitas intelektual ulama, dukungan lembaga keislaman, dan keterbukaan terhadap dialog interdisipliner menjadi kunci utama dalam membangun masa depan ijtihad yang lebih progresif dan bermanfaat bagi umat manusia. (*)